Jumat, 22 Oktober 2010

Suku Bunga, Inflasi dan Teori Bunga Uang.

Suku Bunga
Menurut Karl dan Fair suku bunga adalah pembayaran bunga tahunan dari suatu pinjaman, dalam bentuk persentase dari pinjaman yang diperoleh dari jumlah bunga yang diterima tiap tahun dibagi dengan jumlah pinjaman.
Pengertian suku bunga menurut Sunariyah (2004:80) adalah harga dari pinjaman. Suku bunga dinyatakan sebagai persentase uang pokok per unit waktu. Bunga merupakan suatu ukuran harga sumber daya yang digunakan oleh debitur yang harus dibayarkan kepada kreditur.

Adapun fungsi suku bunga menurut Sunariyah (2004:81) adalah :

  1. Sebagai daya tarik bagi para penabung yang mempunyai dana lebih untuk diinvestasikan.
  2. Suku bunga dapat digunakan sebagai alat moneter dalam rangka mengendalikan penawaran dan permintaan uang yang beredar dalam suatu perekonomian. Misalnya, pemerintah mendukung pertumbuhan suatu sektor industri tertentu apabila perusahaan-perusahaan dari industri tersebut akan meminjam dana. Maka pemerintah memberi tingkat bunga yang lebih rendah dibandingkan sektor lain.
  3. Pemerintah dapat memanfaatkan suku bunga untuk mengontrol jumlah uang beredar. Ini berarti, pemerintah dapat mengatur sirkulasi uang dalam suatu perekonomian.
    Suku bunga itu sendiri ditentukan oleh dua kekuatan, yaitu : penawaran tabungan dan permintaan investasi modal (terutama dari sektor bisnis). Tabungan adalah selisih antara pendapatan dan konsumsi. Bunga pada dasarnya berperan sebagai pendorong utama agar masyarakat bersedia menabung. Jumlah tabungan akan ditentukan oleh tinggi rendahnya tingkat bunga. Semakin tinggi suku bunga, akan semakin tinggi pula minat masyarakat untuk menabung, dan sebaliknya.
    Tinggi rendahnya penawaran dana investasi ditentukan oleh tinggi rendahnya suku bunga tabungan masyarakat.

Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 471) suku bunga adalah harga yang dibayarkan untuk satuan mata uang yang dipinjam pada periode waktu tertentu.
Menurut Lipsey, Ragan, dan Courant (1997 : 99-100) suku bunga dapat dibedakan menjadi dua yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Dimana suku bunga nominal adalah rasio antara jumlah uang yang dibayarkan kembali dengan jumlah uang yang dipinjam. Sedang suku bunga riil lebih menekankan pada rasio daya beli uang yang dibayarkan kembali terhadap daya beli uang yang dipinjam. Suku bunga riil adalah selisih antara suku bunga nominal dengan laju inflasi.
Menurut Samuelson dan Nordhaus (1998) suku bunga adalah pembayaran yang dilakukan atas penggunaan sejumlah uang.
Menurut Nopirin (1992:176) fungsi tingkat bunga dalam perekonomian yaitu alokasi faktor produksi untuk menghasilkan barang dan jasa yang dipakai sekarang dan di kemudian hari.

Menurut Ramirez dan Khan (1999) ada dua jenis faktor yang menentukan nilai suku bunga, yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi pendapatan nasional, jumlah uang beredar, dan inflasi. Sedang faktor eksternal merupakan suku bunga luar negeri dan tingkat perubahan nilai valuta asing yang diduga.

Menurut Prasetiantono (2000) mengenai suku bunga adalah : jika suku bunga tinggi, otomatis orang akan lebih suka menyimpan dananya di bank karena ia dapat mengharapkan pengembalian yang menguntungkan. Dan pada posisi ini, permintaan masyarakat untuk memegang uang tunai menjadi lebih rendah karena mereka sibuk mengalokasikannya ke dalam bentuk portfolio perbankan (deposito dan tabungan). Seiring dengan berkurangnya jumlah uang beredar, gairah belanja pun menurun. Selanjutnya harga barang dan jasa umum akan cenderung stagnan, atau tidak terjadi dorongan inflasi. Sebaliknya jika suku bunga rendah, masyarakat cenderung tidak tertarik lagi untuk menyimpan uangnya di bank.
Beberapa aspek yang dapat menjelaskan fenomena tingginya suku bunga di Indonesia adalah tingginya suku bunga terkait dengan kinerja sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi (perantara), kebiasaan masyarakat untuk bergaul dan memanfaatkan berbagai jasa bank secara relatif masih belum cukup tinggi, dan sulit untuk menurunkan suku bunga perbankan bila laju inflasi selau tinggi ( Prasetiantono, 2000 : 99-101)
Inflasi

Menurut Bodie dan Marcus (2001:331) inflasi merupakan suatu nilai dimana tingkat harga barang dan jasa secara umum mengalami kenaikan. Inflasi adalah salah satu peristiwa moneter yang menunjukkan suatu kecenderungan akan naiknya harga-harga barang secara umum, yang berarti terjadinya penurunan nilai uang. Penyebab utama dan satu-satunya yang
memungkinkan gejala ini muncul menurut Teori Kuantitas mengenai uang pada mazhab klasik adalah terjadinya kelebihan uang yang beredar sebagai akibat penambahan jumlah uang di masyarakat.

Menurut Keynes dalam The General Theory of Employment, Interest and Money, dinyatakan bahwa inflasi disebabkan oleh gap antara kemampuan ekonomi masyarakat terhadap keinginan-keinginannya terhadap barang-barang (Shapiro, 2002). Yang dimaksud dengan gap disini adalah permintaan masyarakat terhadap barang-barang lebih besar daripada jumlah yang tersedia sehingga terjadi kenaikan harga, yang kemudian dikenal dengan istilah inflationary gap.

Menurut Winardi (1995 : 235) pengertian inflasi adalah suatu kenaikan relatif dalam tingkat harga umum (Sarwoko, 2005). Inflasi dapat timbul bila jumlah uang atau uang deposito dalam peredaran banyak, dibandingkan dengan jumlah barang-barang atau jasa yang ditawarkan atau bila karena hilangnya kepercayaan terhadap mata uang nasional, terdapat gejala yang meluas untuk menukar dengan barang-barang.
Ada berbagai macam inflasi, seperti :

Menurut Kusnadi (1997 : 227) jenis inflasi berdasarkan atas parah tidaknya inflasi tersebut dibedakan menjadi empat macam (Sarwoko, 2005), yaitu

• Inflasi tingkat ringan yaitu jika tingkat inflasi dibawah 10 persen setahun
• Inflasi tingkat sedang yaitu jika tingkat inflasi diatas 10 persen sampai 30 persen setahun
• Inflasi tingkat berat yaitu jika tingkat inflasi diatas 30 persen akan tetapi masih dibawah 100 persen.
• Inflasi tingkat sangat parah, inflasi yang terakhir ini dikenal pula dengan nama hiperinflasi, yaitu jika tingkat inflasi diatas 100 persen.

Jenis inflasi atas dasar perbedaan kualitatif, yaitu penggolongan yang didasarkan pada perbedaan keadaan. Dalam hal ini inflasi dibagi dalam tiga tahap (Samuelson dan Nordhaus, 1998 : 299), yaitu :
• Inflasi moderat

Bentuk inflasi ini terjadi ketika harga-harga meningkat dengan perlahan-lahan.
Kita dapat mengatakan inflasi ini bersifat moderat apabila angkanya masih di bawah 10 persen setahun atau inflasi satu angka atau satu digit. Dalam situasi inflasi moderat harga barang-barang relatif tidak akan bergerak jauh menyimpang. Orang tidak akan terlalu banyak berpikir dalam menggunakan uangnya, karena tingkat suku bunga riil tidak terlalu rendah. Apabila laju inflasi rendah, maka uang yang biasanya berbunga nominal hampir mendekati nol, maksimal menghasilkan suku bunga riil sedikit negatif. Selain itu harapan yang timbul dari masyarakat relatif stabil. Orang tidak khawatir dalam membuat transaksi dengan nilai nominal.
• Inflasi menengah (Galloping Inflation)

Bentuk inflasi ini terjadi jika harga-harga mulai melonjak 20, 100 atau 200 persen setahun artinya inflasi ini ditandai dengan kenaikan harga yang cukup besar (biasanya double digit atau triple digit), inflasi ini sering disebut dengan inflasi dua / tiga angka / digit. Begitu inflasi ganas mulai mengakar, maka gangguan ekonomi yang gawat mulai bermunculan. Pada umumnya sebagian besar kontrak-kontrak transaksi dikaitkan dengan indeks harga atau mata uang asing, dolar misalnya, uang kehilangan nilainya begitu cepat, dimana uang memperoleh suku bunga riilnya sebesar negatif 50 atau 100 persen setahun, karena itu orang tidak mau lagi meyimpan uang lebih dari jumlah minimum yang dibutuhkannya. Pasar uang akan semakin buruk dana dana biasanya dialokasikan lebih dengan cara penjatahan daripada perhitungan suku bunga. Orang-orang
berlomba-lomba dalam menimbun barang, membeli rumah, tanah, dan tidak akan
pernah meminjamkan uang dengan suku bunga yang biasa.
• Hiperinflasi

Bentuk inflasi ketiga yang sangat mematikan disebut dengan hiperinflasi.
Adapun ciri-ciri dari hiperinflasi adalah : adanya kecepatan perputaran uang (yaitu
betapa cepat uang dibelanjakan begitu diterima ) meningkat sangat besar,
misalnya uang akan berputar lebih dari 30 kali lebih cepat dari awal periode. Dan
harga-harga relatif sangat tidak stabil, biasanya upah riil seseorang hanya berubah
satu persen atau bahkan kurang dari bulan ke bulan.

Jenis inflasi menurut sebabnya :

• Demand pull inflation
Inflasi ini bermula dari adanya kenaikan permintaan total. Kenaikan permintan total akan menaikkan harga dan hasil produksi.
• Cost push inflation
Biasanya ditandai dengan kenaikan harga dan penurunan produksi. Keadaan ini timbul biasanya dimulai dengan adanya penurunan dalam penawaran total sebagai akibat kenaikan biaya produksi. Kenaikan biaya produksi pada gilirannya akan menaikkan harga dan turunnya produksi. Kalau proses ini berjalan terus-menerus timbullah cost push inflation.
Inflasi dan suku bunga mempunyai hubungan timbal balik. Suku bunga tinggi akan mengakibatkan kenaikan bunga pinjaman kredit bank yang dibutuhkan oleh peminjam dana meningkat sehingga ongkos produksi akan meningkat dan berujung pada harga jual produk yang meningkat pula. Inflasi yang meningkat mengakibatkan suku bunga juga meningkat, sebab jika terjadi inflasi maka setiap investor akan meminta imbal hasil minimum yang telah mampu mengganti besarnya inflasi.

Lima Langkah Turunkan Suku Bunga

Perbankan nasional tengah menjadi sorotan publik karena tetap tak bergeming menginjeksi sektor riil melalui penurunan suku bunga kreditnya. Pemerintah, BI, dan dunia usaha perlu mengambil beberapa strategi yang dapat mendorong langkah perbankan menurunkan suku bunga kreditnya.
Di tengah ancaman pingsannya perekonomian domestik karena kekurangan darah akibat terserempet krisis keuangan global, perbankan nasional tetap belum menurunkan suku bunga kreditnya.
Tengoklah hasil Survei Kegiatan Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan Bank Indonesia (BI) terhadap 2.479 perusahaan di seantero Nusantara. Survey tersebut menunjukkan, 44,08% dari mereka kesulitan memperoleh kredit utamanya karena suku bunga kredit yang tinggi, jauh di atas isu ketersediaan jaminan (16,45%), kerumitan persyaratan memperoleh kredit (15,13%), atau kebijakan bank (14,47%).
Secara teori, penurunan suku bunga acuan (BI rate) menjadi 7,75% – terendah sepanjang sejarah pemberlakuan BI rate di tahun 2005, seharusnya diikuti penurunan suku bunga kredit untuk meningkatkan fungsi intermediasi perbankan dalam menggerakkan sektor riil. Sayangnya, tanda-tanda pemangkasan suku bunga kredit oleh perbankan tetap tak kunjung terlihat.
Berbagai alasan dikemukakan oleh para bankir. Pertama, biaya dana pihak ketiga dalam bentuk deposito jangka menengah saat ini masih mahal. Kalaupun harus menurunkan suku bunga kreditnya, setidaknya dibutuhkan sekitar, 1-4 bulan lagi sampai jatuh temponya deposito berjangka enam bulan. Kedua, pelaku usaha dinilai belum siap menyerap seluruh likuiditas system perbankan nasional karena lesunya permintaan produk dan jasa mereka oleh konsumen di dalam dan luar negeri. Indikasi ini terlihat dengan semakin membengkaknya dana perbankan yang diparkir dalam bentuk sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang mencapai Rp 200 triliun.
Ketiga kekhawatiran bankir akan risiko menjadi pioneer dalam menurunkan suku bunga tanpa diikuti oleh bankir lain, justru akan membuat bank tersebut kesulitan likuiditas karena ditinggal nasabahnya yang masih menginginkan tingginya bunga simpanan mereka. Hal ini dialami dua bank BUMN yang menurunkan suku bunga depositonya sebanyak 0,5% bulan lalu tapi tidak serta-merta diikuti oleh bank swasta.
Pemerintah dan Dunia Usaha
Menyadari akar permasalahan mengapa perbankan nasional enggan menurunkan suku bunga kreditnya, maka beberapa strategi perlu ditempuh pemerintah dan BI guna mendorong perbankan menurunkan suku bunga kreditnya.

Pertama, suku bunga penjaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) perlu diturunkan maksimum sama dengan BI-rate dari posisi wajarnya saat ini yang sebesar 8,25% untuk bank umum dan 12% untuk Bank Perkreditan Rakyat (BPR).
Kebijakan tersebut akan berpengaruh tidak saja bagi penurunan bunga simpanan namun juga mendorong perbankan nasional untuk menyalurkan likuiditasnya dalam bentuk kredit ketimbang menempatkan dananya pada SBI. Berbagai strategi untuk menghilangkan kemanjaan perbankan menempatkan dananya di instrument bebas risiko berbunga tinggi seperti SBI sudah saatnya ditempuh.

Kedua, perbankan nasional didorong untuk melakukan bisnisnya secara efisien, menekan over head cost, dan mengembangkan kreativitas melalui penciptaan produk-produk perbankan yang tidak melulu mengandalkan pendapatan dari bunga, namun lebih kepada fee based income.

Ketiga, perlunya kampanye dan sosialisasi yang intensif mengenai risiko yang dihadapi masyarakat apabila tergiur bonus atau bunga yang lebih tinggi dari bunga penjaminan LPS. Boleh jadi, gencarnya bank yang menawarkan bunga di atas penjaminan LPS mengindikasikan bahwa pengelolaan bank tersebut sedang tidak begitu baik akibat keringnya likuiditas.

Keempat, pelaku usaha diimbau untuk membuat rencana bisnisnya apada 2009 secara baik dan akurat untuk mengantisipasi agar penurunan bunga kredit secara cepat diserap oleh dunia usaha. Pelaku usaha didorong untuk meningkatkan good governance-nya dengan terus melaporkan kegiatan usahanya kepada perbankan demi mengantisipasi kemungkinan kredit macet.

Kelima, perlunya pemerintah segera merealisasikan stimulus fiscal sebesar Rp 71,3 triliun dalam berbagai proyek dan kegiatan, sehingga semakin cepat pula dana tersbut kembali ke dalam sistem perbankan guna dimanfaatkan bagi kegiatan di sektor lainnya. Penyerapan anggaran pemeritah tersebut pada akhirnya akan menambah suplai likuiditas di pasar, sehingga sesuai teori permintaan dan penawaran dengan sendirinya suku bunga dana dan kredit akan terkerek turun secara alamiah, bertahap, dan terukur.

Mengetatkan Aturan

Saat negara adidaya mengkampanyekan Buy American atau negara tetangga Malaysia berhasil menerapkan capital control saat krisis keuangan Asia 1997/8, saatnya pula kita mengetatkan aturan bagi para pemodal demi menjaga stabilitas keuangan dalam negeri.
Meskipun demikian, melihat suku bunga acuan domestik yang masih jauh lebih tinggi dibanding negara tetangga seperti Korea (2%), Thailand (1,75%), Filipina (4,5%), India (5%), Tiongkok (5,31%), atau negara maju seperti Inggris (0,5%), Eropa (1,5%), dan AS (0,75%), maka ketakutan terjadinya pelarian modal tersebut masih tidaklah mengkhawatirkan.

Teori Bunga Uang

Sejak ambruknya bursa perekonomian Wall Street di tahun 1929 yang disusul oleh resesi ekonomi yang berkepanjangan di tahun 1930-an, kedudukan ekonomi Kapitalis menjadi guncang. Krisis ini menenggelamkan harapan berpuluh-puluh negara-negara yang baru saja menarik nafas lega setelah mempertaruhkan hidup dan mati mereka dalam gelanggang Perang Dunia I. Juga, kasus tersebut menyebabkan timbulnya keraguan di antara para pakar okonomi Barat tentang kemapanan struktur ekonomi Kapitalis yang mereka bangga-banggakan. Apalagi aktifitas ekonomi saat ini teramat kompleks dimensinya untuk dijelaskan secara gamblang yang membuat berbagai perhitungan ekonomi memerlukan kecermatan bagi para pembuat kebijakan ekonomi maupun politik. Bayang-bayang depresi tahun 30-an kembali menjadi trauma menakutkan, terutama bagi negara-negara miskin di dunia yang tetap tidak akan bisa melepaskan ketergantungannya terhadap negara-negara Barat yang maju.
Hal ini menujukkan struktur ekonomi Kapitalis memerlukan autopsi (bedah masalah) secara menyeluruh. Oleh karena itu, pada tahun 1944 dalam pertemuan Bretton Woods di New Hampshire, para pakar ekonomi membenahi struktur perekonomian mereka, dengan tetap menaruh strategi ketergantungan Selatan (negara-negara mayoritas muslim yang miskin) terhadap Utara (negara-negara Eropa dan Amerika yang maju) dan membentuk dua piagam pokok tentang kerja sama internasional di bidang keuangan dan moneter yang diatur oleh bank Dunia dan Dana Moneter Internasional. Akan tetapi di tahun 70-an persetujuan di Bretton Woods tidak mampu menanggulangi resesi yang melanda dunia.
Persoalan yang telah membingungkan para pakar selama bertahun-tahun sebenarnya adalah masalah lingkaran perdagangan (trade cycle). Teori-teori yang telah ada mengenai gejala ini belum sanggup memberikan jalan keluar yang baik. Bongkar pasang kebijakan ekonomi di setiap negara di dunia ternyata hanya menimbulkan semacam vicious cycle (lingkaran setan, yang tak berujung pangkal). Dalam menerangkan perdagangan ini teori bunga uang telah semakin menarik perhatian banyak ekonom. Padahal teori mengenai bunga uang telah lama merupakan titik kelemahan dalam ilmu ekonomi dan keterangan serta rumusan mengenai suku bunga uang lebih banyak menimbulkan pertentangnan di antara para ekonom dibandingkan topik-topik lainnya dalam teori ekonomi umum.

Beberapa Teori tentang Pembungaan Uang

Dari manuskript sejarah yang masih tersisa diperoleh keterangan bahwa praktek pembungaan uang telah lama dikenal. Plato dalam bukunya yang terkenal The Law of Plato, telah melarang agar orang-orang jangan meminjamkan uang dengan memungut rente. Sedangkan muridnya yaitu Aristoteles secara tegas mengutuk sistem pembungaan uang. Dia menyebut buang uang dengan istilah “ayam betina yang mandul dan tidak bisa bertelur”.
Sebenarnya apa fungsi uang dalam kehidupan ini? Aristoteles menyebutkan bahwa fungsi uang yang utama adalah untuk memudahkan jalannya perdagangan dan memudah manusia memenuhi kebutuhannya. Itu sebabnya mengapa Aristoteles mengutuk penggunaan uang sebagai alat untuk menimbun kekayaan apalagi memperanakkannya. Sekeping uang tidak boleh membuat /menciptakan kepingan uang lainnya, kata Aristoteles.

A. Teori Ekonomi Klasik tentang Bunga Uang

Menjelang revolusi Industri di Eropa, aktifitas perdagangan dan keuangan meningkat pesat. Pada kurun ini muncul para pakar ekonomi semisal Adam Smith, D Ricardo, John Stuart Mill, Edgeworth, Marshal, dan lain-lain.
Menurut Adam Smith dan Ricardo, bunga uang merupakan suatu ganti rugi yang diberikan oleh si peminjam kepada pemilik uang atas keuntungan yang mungkin diperolehnya dari pemakaian uang tersebut. Pada hakekatnya penumpukan barang atau modal dapat berakibat ditundanya pemenuhan kebutuha lain, dan orang tidak akan berbuat demikian kalau mereka tidak mengharapkan suatu hasil yang lebih baik dari pengorbanan yang telah mereka lakukan. Dengan demikian, bunga uang adalah hadiah atau balas jasa yang diberikan kepada seseorang karena dia telah bersedia menunda pemenuhan kebutuhannya.
Sedangkan menurut Marshall, bunga uang dilihat dari segi penawaran merupakan balas jasa terhadap pengorbanan bagi kesediaan seseorang untuk menyimpan sebagian pendapatannya ataupun “jerih payah”nya melakukan penungguan.
Besarnya tingkat suku bunga uang menurut aliran ekonomi klasik digambarkan sebagai berikut; jika hasil yang diperoleh dari perputaran uang jumlahnya besar, maka bunga uang yang lebih besar dapat diberikan atas imbalan pemakaian uang tersebut. Namun, suku bunga uang tidak memiliki hubungan apapun dengan jumlah uang yang beredar. Sebab, akibat meningkatnya jumlah uang, maka hal tersebut tidak lain adalah akibat naiknya harga, bukan mendongkrak tingkat suku bunga uang. Mengenai tingkat suku bunga uang yang riil (nyata), Marshal beranggapan bahwa besarnya suku bunga uang terletak pada titik potong antara grafik permintaan dan persediaan jumlah tabungan. Jika jumlah tabungan uang lebih besar dari permintaan akan uang yang hendak ditanamkan, maka tingkat suku bunga uang akan turun, dan jumlah penanaman modal akan bertambah besar hinga tercapai titik keseimbangan baru antara tabungan dan penawaran modal. Begitu pula sebaliknya, akan terjadi bila permintaan akan modal lebih besar dari penawarannya, maka tingkat suku bunga uang akan naik dan penanaman modal akan berkurang. Dengan demikian, berarti anggapan dasar teori Klasik tentang tabungan adalah jumlah tabungan selalu ditentukan oleh besarnya suku bunga uang.
Teori Klasik mengenai bunga uang ini pada akhirnya dikritik habis-habisan oleh para pakar ekonomi modern semacam Lord Keynes. Ia mengungkapkan bahwasanya bunga uang bukanlah merupakan hadiah atas kesediaan seseorang untuk menyimpan uangnya. Sebab, setiap orang bisa saja menabung tanpa meminjamkan uangnya untuk tujuan memungut bunga uang, sedangkan selama ini telah dimaklumi bahwa setiap orang hanya dapat mem¬peroleh bunga uang dengan meminjamkan lagi uang tabungannya itu. Begitu pula kalau kita melihat adanya pertambahan jumlah tabungan masyarakat, maka fenomena bertambahnya penanaman modal dalam jumlah yang sama dengan tabungan masyarakat adalah anggapan tidak benar, terutama pada masa-masa resesi ekonomi atau pada saat terjadinya economic boom (keadaan aktifitas ekonomi yang mencapai puncaknya). Pada dua keadaan seperti di atas, yaitu pada masa resesei ataupun pada waktu aktifitas ekonomi memuncak, maka naiknya tingkat suku bunga uang tidaklah meningkatkan jumlah penanaman modal sebagaiman yang diyakini para ekonom aliran klasik.
Tentang munculnya fluktuasi tingkat suku bunga uang, yang menurut teori klasik ditentukan oleh kurva permintaan dan persediaan jumlah tabungan, maka Keynes menangkisnya dengan mengatakan bahwa inisiatif seluruhnya terletak pada para enterpreneur (pihak swasta yang memanfaatkan pinjaman /uang ), bukan tergantung kepada para penabung. Sebab, para penabung secara keseluruhan tidak berarti apa-apa dibandingkan dengan peran para enterpreneur dalam memutar modal, walaupun kita ketahui bahwa setiap orang bebas menabung berapa saja yang dikehendakinya.
Dari uraian di atas, maka kita sampai pada suatu kesimpulan bahwa tingkat suku bunga uang yang tinggi maupun yang rendah, keduanya tidak mampu mendorong kegiatan ekonomi /usaha yang produktif, apalagi mendorong kegiatan ekonomi terutama pada saat terjadi resesi. Lagi pula jumlah uang yang ditabung oleh perorangaan pada suatu tingkat penghasilan tertentu, tidaklah memiliki pengaruh terhadap perubahan besarnya suku bunga uang. Oleh karena itu, pernyataan Henderson yang mengatakan bahwa tingkat suku bunga uang merupakan alat penyelidik tentang mengapa modal dapat berpindah-pindah, melalaui apa dan pada sektor kehidupan apa saja modal bisa ditanamkan, serta apa saja yang pada masa datang dapat memberikan hasil yang paling tinggi, adalah tidak benar selama-lamanya. Sebab pada tingkat suku bunga uang 0 (yaitu tidak ada bunga uang), transaksi atau aktifitas ekonomi malahan meningkat pesat, dan mampu mengurangi tingkat pengangguran dan mempercepat peredaran uang di masyarakat.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dorongan orang maupun lembaga yang akan berusaha dalam berbagai aspek ekonomi tidak ditentukan oleh jumlah tabungan, dan tidak pula ditentukan oleh suku bunga uang. Sebab, pada keadaan ekonomi lesu, walaupun tingkat suku bunga uang dinaikkan, tetap saja ia tidak akan mampu mendongkrak kenaikan aktifitas ekonomi. Kalaupun tingkat suku bunga uang naik, ia hanya mendorong sebatas memperbanyak jumlah tabungan belaka.

B. Teory Ekonomi Modern Tentang Bunga Uang

Teori modern yang kini masih dijadikan rujukan berbagai penentu kebijakan ekonomi di belahan bumi utara maupun selatan yang paling populer adalah teori Lord Keynes tentang ekonomi. Dalam bukunya yang terkenal dengan the Genereal Theory of Employment, Interest and Money, ia menyinggung masalah suku bunga uang (Interest) secara panjang lebar. Di samping teori-teori tentang suku bunga uang yang di kemukakan oleh Keynes, sebenarnya masih banyak teori lain seperti teori Agio, teori suku bunga uang moneter dan lain-lain. Akan tetapi teori-teori ini tenggelam oleh teori Keynes tentang ekonomi, termasuk di dalamnya pembahasan mengenai suku bunga uang.
Walaupun teori modern tentang suku bunga uang mencela habis-habisan teori klasik, akan tetapi aliran modern tetap menjadikan bunga uang sebagai suatu “kewajiban ekonomi” yang kalau tidak, akan mengakibatkan kemacetan aktifitas ekonomi, dan ini berarti kemunduran besar dalam peradaban manusia yang tidak bisa melepaskan dirinya dari aspek ekonomi.
Bagaimana mereka memandang tentang bunga uang? Teori ekonomi klasik menyebutkan bahwa bunga uang adalah hadiah yang didapat atas pinjaman uang tunai dan dengan perjanjian pembayaran sesudah jangka waktu tertentu di masa datang. Jadi bunga uang menurut teori tersebut bukanlah harga atau hadiah karena seseorang telah menabung dan atau tidak membelanjakan uangnya. Bunga uang dapat disebut hadiah adalah karena seseorang “tidak menyimpan begitu saja” uangnya, atau ia disebut hadiah karena orang tersebut telah melepaskan likuiditasnya sendiri untuk suatu jangka waktu tertentu. Keinginan untuk tetap liquid tidak lain adalah karena adanya permintaan “pasar” akan uang. Menurut Keynes, besarnya suku bunga uang ditentukan oleh pertemuan antara apakah masyarakat ingin lebih liquid atau tidak, dengan apakah bank bersedia untukmenjadi liquid atau tidak.
Dalam penbahasan suku bunga uang, Keynes sampai pada suatu kesimpulan bahwasanya suku bunga uang hanyalah pengaruh angan-angan manusia saja (highly konvensional), dan setiap tingkat suku bunga uang terpaksa diterima masyarakat yang dalam pandangan orang-orang kelihatan senantiasa menyenangkan. Kemudian, dalam pembahasan lanjutan tentang suku bunga uang, ia menghubungkannya dengan permodalan yang ada. Keynes mengatakan bahwa suku bunga uang di dalam suatu masyarakata yang berjalan normal akan sama dengan nol (tidak ada bunga uang), dan ia meyakini bahwa manusia bisa mendapatkan uang dengan jalan berusaha.
“Suatu masyarakat yang berjalan normal dengan sarana tehnik modern dan perkembangan penduduk stabil, harus sanggup menurunkan keseimbangan pemakaian tambahan modal secara efisien sampai titik nol dalam satu generasi saja, sehingga kita bisa mencapai suatu keadaan masyarakat yang teratur yang perubahan dan kemajuannya hanya disebabkan oleh kemajuan tehnik, selera masyarakat, perkembangan penduduk dan lembaga-lembaganya”.
Suku bunga uang, terlepas dari maksud untuk memperbesar modal sebagaimana yang dianggap oleh masyarakat saat ini, adalah merupakan suatu panghalang kemajuan. Penyelidikan Keynes dalam hal ini sangat menarik; karena ia beranggapan bahwa perkembangan modal tertahan oleh karena adanya suku bunga uang. Jika saja hambatan ini dihilangkan, lanjut Keynes, maka pertumbuhan modal di dunia modern akan berkem-bang cepat, sehingga pasti memerlukan akan diadakan peraturan yang mengatur agar suku bunga uang harus sama dengan nol. Ia telah menun-jukkan ketidakbenaran pendapat yang mengatakan bahwa pertambahan jumlah tabungan (yang penyebabnya adalah naiknya suku bunga) akan berakibat bertambahnya jumlah penanaman modal. Sebab, seseorang yang menambah jumlah tabungannya, kata Keynes, pada dasarnya akan mangurangi jumlah tabungan orang lain jika hal tersebut ditinjau dari segi masyarakat secara keseluruhan. Pengalaman selama PD II, di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa masyarakat negeri itu berhasil menabung lebih banyak dengan bunga uang rendah (cuma l%) dibandingkan dengan apa yang diperoleh sebelumnya dengan bunga uang yang jauh lebih tinggi. Hal ini membuktikan bahwa teori ekonomi modern berhasil menunjukkan bahwa jumlah tabungan tidak ditentukan oleh besarnya suku bunga uang, tetapi ditentukan oleh tingkat penanaman modal
Di sinilah ajaran Islam yang agung memberikan pemecahan dengan menghapuskan sama sekali pembungaan uang, dan hal ini akan mendorong penanaman modal dalam jumlah yang tidak terbatas. Apa yang dikemukakan oleh teori tentang suku bunga uang (terutama yang diungkapkan Keynes) menunjukkan bahwa bunga uang hanyalah hasil angan-angan manusia saja, dan suku bunga uang yang tinggi merupakan penghalang bagi kemajuaan serta kesejahteraan dunia. Syariat Islam yang mulia juga menetapkan hukum zakat, fai’, waris terhadap harta dengan jumlah dan timbangan tertentu, serta melarang menimbun uang untuk menghindari penimbunan sumber-sumber uang/modal yang menganggur, yang tidak digunakan untuk usaha-usaha produktif lewat jalan-jalan yang ditentukan oleh syara’. Mahabenar Allah dengan firmanNya:

Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu” (QS Al Hasyr 7).

Ayat ini menunjukkan bahwa harta /modal harus beredar di antara manusia, sekaligus mendorong manusia agar senantiasa berusaha dengan usaha-usaha produktif yang tujuannya untuk mempercepat pertumbuhan modal U1